Kamis, 21 Januari 2010

Subyektivitas dan Obyektivitas Sejarah


SUBYEKTIFITAS DAN OBYEKTIFITAS SEJARAH
Sebuah pelukisan sejarah kita sebut subyektif, bila subyek yang tahu yakni sejarawan sendiri jelas hadir didalamnya. Pelukisan sejarah kita sebut obyektif, bila hanya obyek penulisan sejarah dapat kita amati. Salah satu cara penulisan sejarah dapat bersifat subyektif ialah bila sejarawan membiarkan keyakinan politik atau etisnya turut berperan. Pada prinsipnya, permasalahan mengenai subyektifitas seorang sejarawan, tidak hanya menyangkut masalah sejauh mana ia dipengaruhi oleh nilai – nilai politis atau etis – etis tertentu tapi juga dapat dipengaruhi oleh kepentingan yang melandasinya.
Fakta yang diperoleh dari kesaksian narasumber (facts of meaning) pada dasarnya tidak dapat dilihat, dirasa, dikecap, didengar, atau dicium baunya, dan dapat dikatakan bahwa fakta tersebut merupakan lambang atau wakil dari sesuatu yang pernah ada dan hanya ada dalam pemikiran pengamat atau sejarawan dan karenanya dapat disebut subyektif. Untuk dapat dipelajari secara obyektif (yakni dengan maksud memperoleh pengetahuan yang tak memihak dan benar, bebas daripada reaksi pribadi seseorang, maka fakta / informasi tersebut harus menjadi suatu obyek dan memiliki eksistensi yang merdeka diluar pemikiran manusia.
Perbedaan pendapat mengenai subyektifitas dan obyektifitas sejarah telah lama ada semenjak jaman Renaissance. Sejak jaman tersebut para sejarawan sadar bahwa bahwa penulisan sejarah diresapi oleh nilai – nilai yang bersifat subyektif. Akan tetapi sejak abad 19 timbul suatu pemikiran baru diantara para sejarawan yang menyatakan bahwa penulisan sejarah yang seobyektif mungkin harus dapat diusahakan, akan tetapi mereka juga sadar bahwa cita- cita tersebut akan sulit terlaksana. Kenyataan terakhir ini memunculkan konsekuensi penting bagi sifat diskusi – diskusi yang berkaitan dengan subyektivitas dan obyektivitas dalam penulisan sejarah.
Ketika seorang sejarawan dihadapkan dalam pemilihan topik penulisan sejarah, mereka harus mengadakan seleksi. Seleksi – seleksi tersebut tidak didasarkan atas prasangka atau pemihakan mengenai informasi isi sumber, seleksi ini memiliki 2 pengertian :
1. Meskipun perhatian sejarawan sangat luas, namun mereka harus menseleksi topic tertentu daru masa lalu yang menarik perhatiannya untuk diteliti.
2. Tidak seorangpun sejarawan dapat menceritakan kejadian dari masa lalu dengan lengkap dalam ruang lingkup yang dipilihnya. Ia harus menseleksi fakta – fakta karena tekanan penting dan relevansinya dengan pokok atau masalah kajiannya dan oleh karena itu ia terpaksa mengabaikan fakta – fakta lain yang dianggap tidak penting.
Bagaimanapun juga para sejarawan yang baik sepakat untuk menulis karya – karya sejarah dengan tidak memihak dan tidak bersifat pribadi.

MASALAH OBYEKTIFITAS

Fakta yang dikaji dan dihasilkan dapat menjadi intersubjektif. Dengan adanya komunikasi secara luas dapat menjadikan fakta tersebut menjadi intersubjetif. Artinya fakta tersebut semakin banyak dimiliki oleh banyak subjek. Jika fakta secara intersubjektif telah diterima sebagai kebenaran. Maka fakta tersebut dapat diobjektivikasikan menjadi suatu objek.
Untuk menghindari kesepihakan, maka diperlukan pendekatan multidimensional, yaitu melihat dari berbagai segi dan aspeknya. Pendekatan ini inheren pada gejala sejarah yang kompleks. Pendekatan ini juga selaras dengan konsep sistem. Keterkaitan aspek – aspek itu baru dapat diungkapkan apabila konsep sistem dipergunakan dalam pengkajianya.
Seorang sejarawan tidak bisa meninggalkan kepribadianya keluar dari cerita subjek yang tangani adalah masyarakat itu sendiri dan tugasnya adalah untuk memahami dan menghitung kembali peristiwa – peristiwa dari masyarakat dan bangsanya. Walaupun kuat kepribadianya, dia tidak bisa menghindarkan diri dari lingkungan masyarakatnya.
Untuk meminialisir subyektivitas dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan kadar obyektivitas, akan tetapi hal ini menjadi sangat sulit dilakukan dikarenakan ada beberapa fakta yang merupakan tuntutan – tuntutan yang sulit atau mustahil untuk dipenuhi seperti :
1. Kebenaran mutlak
2. Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi
3. Netralitas mutlak, tidak memihak dan tidak terikat
4. Kondisi – kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa

FAKTOR-FAKTOR SUBJEKTIF PENULISAN SEJARAH

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap penulisan sejarah pastinya terkandung unsur subjektifitas. Hal ini dapat terjadi apabila sejarawan yang hadir dalam suatu peristiwa membiarkan perilaku politis atau etisnya turut berperan dalam menyampaikan peristiwa tersebut.Pada prinsipnya permasalahan mengenai subjektifitas seorang sejarawan tidak hanya menyangkut masalah sejauh mana ia dipengaruhi oleh nilai-nilai politis dan nilai-nilai etis dalam meyampaikan sejarah. Namu ada kalanya hal ini juga dipengaruhi oleh adaya kepentingan yang mel;andasinya.
Terwujudnya suatu karya sejarah menuntut tidak hanya kesungguhan sejarawan dalam mendapatkan sumber, kemudian dengan mengandalkan fakta-fakta yang disusun berdasarkan sumber tersebut, tetapi juga lebih dituntut kemampuan untuk menjalin dan memaparkan fakta-fakta itu secara sistematisdan logis, untuk kemudian ia harus menyusun cerita di atas fakta-fakta tersebut. Dalam mewujudkan cerita sejarah seringkali sejarawan dihadapkan dengan persoalan tidak lengkapnya sumber, oleh karenanya dalam memaparkan cerita sejarah ia harus mampu menerangkan dan manghubungkan masing-masing fakta dengan memberikan inspirasi-inspirasi berupa intepretasi terhadap fakta yang dibuat berdasarkan sumber yang didapat. Disamping itu seorang sejarawan harus mampu menemukan hubungan intristik dari setiap fakta yang telah disusun. Pada bagian tersebut sesungguhnya seorang sejarawan tidak lagi dipandu oleh sumber, tetapi dipengaruhi oleh factor dirinya sendiri. Keterlibatan factor-faktor diri pada dasarnya menjadikan suatu penulisan sejarah berhadapan dengan persoalan subjektifitas. Unsur lingkungan kebudayaan, situasi sosial, kepribadian, dan lain-lain seringkali ikut mempengaruhi sejarawan dalam menulis sejarah, terutama dalam penafsiran (interpretasi) terhadap sumber serta mamberikan analisa-analisa logis terhadap fakta dalam bentuk inferensi sebagaimana yang telah disebutkan. Karena itu suatu karya sejarah yang dihasilkan sejarawan dalam bentuk waktu, sekaligus merupakan gambaran budaya dimana sejarawan tersebut tinggal.


Dalam metodologi sejarah, terdapat 4 faktor utama yang dapat menjadikan suatu penulisan sejarah bersifat subyektif, yaitu :
1. Pemihakan Pribadi (personal bias)
Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu – individu atau golongan dari seseorang dapat mempengaruhi subyektivitas dari penulisan sejarah.
2. Prasangka Kelompok (group prejudice)
Keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok (ras, golongan, bangsa, agama) dapat membuat mereka memiliki pandangan yang bersifat subyektif dalam mengamati suatu peristiwa sejarah.
3. Teori – Teori Bertentangan Tentang Penafsiran Sejarah (conflicting theories of historical interpretation)
Pandangan/ideology yang dianut sejarawan memegang peranan penting dalam menentukan subyektivitas penulisan sejarah.
4. Konflik – konflik Filsafat Yang Mendasar (underlying pgilosophical conflicts)
Secara teoritis seseorang yang menganut filsafat hidup tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangannya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar